Senin, 23 Juni 2014

Kasihan Raeni, Wisudawan Terbaik yang diantar Becak Ayahnya



          

     
Raeni saat disambut Rektor Unes, sumber: thejakartapost.com
           


      Kisah Raeni, mahasiswa Fakultas Ekonomi (Akuntansi) Universitas Semarang memang sangat menginspirasi. Bagaimana tidak, seorang anak dengan keterbatasan finansial mampu meraih IPK 3,96 yang nyaris sempurna. Tak jarang, Raeni pun mendapat IP 4,00 di beberapa semester. Yang membuat luar biasa sebenarnya bukanlah capaian IPK Raeni, tapi sosok berjasa di balik kisahnya. Ayahnya yang seorang tukang becak dan pernah menjadi buruh di pabrik kayu lapis pun rela untuk pensiun dini demi modal utama Raeni kuliah yaitu laptop. Ini sempat Raeni ungkapkan saat tampil di acara Hitam Putih, Trans TV.  Mugiyono dan Sujamah, orangtua Raeni pun penuh haru saat mengantar anaknya memasuki prosesi wisuda yang disambut langsung oleh Rektor Unes. Bukan hanya itu, cerita tentang Raeni dan ayahnya yang ramai diliput di berbagai media baik cetak dan elektronik pun mendatangkan berkah. Orang nomor satu di Indonesia, Presiden SBY juga sangat bangga terhadap prestasi Raeni hingga mendaulat Raeni sebagai salah satu anak bangsa terbaik yang mendapat Presidential Scholarship ke Inggris.

     Di balik tingginya IPK yang Raeni sanggup dapatkan sebenarnya ada pertanyaan besar yang mengganjal. Bagi saya, IPK tinggi sebenarnya bisa diraih siapa saja. Malah mungkin ada yang melebihi raihan IPK yang ia dapatkan. Namun, keistimewaan Raeni yang ditonjolkan adalah sebagai anak tukang becak yang notabene dianggap lemah secara finansial dan berhasil lulus dari Universitas Negeri. Hasrat keingintahuan saya yang tinggi tentang cara-cara Raeni mendapatkan IPK mungkin bisa menjawab pertanyaan besar saya. Karena perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada proses bukan hasil tampaknya tak didukung media. Kenapa? Hampir seluruh headline media terfokus pada IPK Raeni yang tinggi dan Profesi pekerjaan ayahnya. Seperti di Tempo 23/6 “Anak Tukang Becak ini Lulus dengan IPK 3,96”, Merdeka.com 11/6 “Kisah Anak Tukang Becak Lulus dengan IPK 3,96 di Unes” dll. Di sini tampak kalau media sebenarnya tidak memberikan edukasi pada pembaca dan masyarakat umumnya.  Padahal dengan merubah sedikit redaksional judul-judul tersebut dengan lebih menekankan pada cara belajar atau komitmen yang ia terapkan juga pasti akan mendatangkan pundi-pundi rupiah serta ketertarikan pembaca pada media itu.  
        Kesuksesan Raeni sebenarnya bukan hanya saat ia berhasil meraih IPK tinggi, lebih jauh adalah saat ilmu yang ia dapatkan memberikan manfaat bagi orang lain. Lulus kuliah adalah salah satu tangga yang harus ia lakukan, maka dengan predikat cumlaude yang disandangnya, media juga bertanggungjawab untuk mengulik lebih dalam nilai-nilai kebaikan yang dilakukan Raeni selama berkuliah. Tentu saja ini akan menjadi nilai plus suatu berita. Sudah selayaknyalah informasi yang disebarluaskan semakin membuka pikiran rakyatnya, bukan malah membodohi.  Saya juga yakin, kampus Unes, almamater Raeni juga tidak hanya bertujuan membentuk lulusan-lulusan ber-IPK tinggi tanpa memerhatikan proses yang baik dan moral anak didiknya. Keberhasilan Raeni lainnya yang perlu dibagi adalah bagaimana ia mampu mengelola waktu dengan baik selama studi. Ia berhasil lulus dengan cepat yakni 3 tahun 6 bulan 10 hari. Ini prestasi luar biasa, karena banyaknya mahasiswa di DO dengan alasan telah melewati batas waktu maksimal ataupun IP yang bernasib satu koma di luar sana, Raeni malah berhasil mendapatkan nilai hampir sempurna dengan waktu minimal.
         Menurut Indari Mastuti, pendiri Sekolah Perempuan dan penulis puluhan judul buku inspiratif, sekolah yang ideal ialah sekolah yang mampu memunculkan inspirasi, kreativitas, dan interaksi positif yang mendorong seseorang bukan hanya memiliki nilai mata pelajaran yang tinggi tapi juga kemampuan bersosialisasi, berempati, dan bergerak menjadi seseorang di atas rata-rata. Seperti halnya sekolah yang ia dirikan dengan tujuan menginspirasi ibu-ibu untuk produktif dan menularkan inspirasi ke mana saja dengan tulisan, begitu juga peran penting media meurbah paradigm pendidikan kita. Bagi Indari menulis itu bukan bakat, tapi keahlian yang konsisten dilakukan. Begitu juga dengan Raeni, nilai yang tinggi tentu tak mungkin ia dapatkan tanpa kerja keras, sosialisasi yang baik, konsistensi dan komitmen tinggi serta kreativitas manajemen waktu. Satu hal yang perlu dicontoh juga adalah semangatnya untuk terus belajar hingga menjadi sukses dan tetap berbakti kepada kedua orangtuanya.
      Oleh karena itu, kasihan sekali Raeni jika IPK yang susah payah ia peroleh hanya digembar gemborkan melalui angka (baca IPK) saja. Menjelaskan usaha-usaha yang ia lakukan sudah semestinya dilakukan agar bisa menjadi penebar inspirasi bagi mahasiswa, orang muda dan juga seluruh rakyat bangsa ini yang kondisi ekonominya tak jauh berbeda dengannya. lalu tugas siapakah ini? (ds)   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar