![]() | |
Raeni saat disambut Rektor Unes, sumber: thejakartapost.com |
Kisah Raeni, mahasiswa Fakultas Ekonomi (Akuntansi)
Universitas Semarang memang sangat menginspirasi. Bagaimana tidak, seorang anak
dengan keterbatasan finansial mampu meraih IPK 3,96 yang nyaris sempurna. Tak
jarang, Raeni pun mendapat IP 4,00 di beberapa semester. Yang membuat luar
biasa sebenarnya bukanlah capaian IPK Raeni, tapi sosok berjasa di balik kisahnya.
Ayahnya yang seorang tukang becak dan pernah menjadi buruh di pabrik kayu lapis
pun rela untuk pensiun dini demi modal utama Raeni kuliah yaitu laptop. Ini sempat
Raeni ungkapkan saat tampil di acara Hitam Putih, Trans TV. Mugiyono dan Sujamah, orangtua Raeni pun penuh
haru saat mengantar anaknya memasuki prosesi wisuda yang disambut langsung oleh
Rektor Unes. Bukan hanya itu, cerita tentang Raeni dan ayahnya yang ramai
diliput di berbagai media baik cetak dan elektronik pun mendatangkan berkah. Orang
nomor satu di Indonesia, Presiden SBY juga sangat bangga terhadap prestasi
Raeni hingga mendaulat Raeni sebagai salah satu anak bangsa terbaik yang
mendapat Presidential Scholarship ke Inggris.
Di balik tingginya IPK yang Raeni
sanggup dapatkan sebenarnya ada pertanyaan besar yang mengganjal. Bagi saya,
IPK tinggi sebenarnya bisa diraih siapa saja. Malah mungkin ada yang melebihi
raihan IPK yang ia dapatkan. Namun, keistimewaan Raeni yang ditonjolkan adalah
sebagai anak tukang becak yang notabene dianggap lemah secara finansial dan
berhasil lulus dari Universitas Negeri. Hasrat keingintahuan saya yang tinggi
tentang cara-cara Raeni mendapatkan IPK mungkin bisa menjawab pertanyaan besar
saya. Karena perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada proses bukan
hasil tampaknya tak didukung media. Kenapa? Hampir seluruh headline media terfokus
pada IPK Raeni yang tinggi dan Profesi pekerjaan ayahnya. Seperti di Tempo 23/6
“Anak Tukang Becak ini Lulus dengan IPK
3,96”, Merdeka.com 11/6 “Kisah Anak
Tukang Becak Lulus dengan IPK 3,96 di Unes” dll. Di sini tampak kalau media
sebenarnya tidak memberikan edukasi pada pembaca dan masyarakat umumnya. Padahal dengan merubah sedikit redaksional
judul-judul tersebut dengan lebih menekankan pada cara belajar atau komitmen
yang ia terapkan juga pasti akan mendatangkan pundi-pundi rupiah serta
ketertarikan pembaca pada media itu.
Kesuksesan Raeni sebenarnya bukan
hanya saat ia berhasil meraih IPK tinggi, lebih jauh adalah saat ilmu yang ia
dapatkan memberikan manfaat bagi orang lain. Lulus kuliah adalah salah satu
tangga yang harus ia lakukan, maka dengan predikat cumlaude yang disandangnya, media juga bertanggungjawab untuk
mengulik lebih dalam nilai-nilai kebaikan yang dilakukan Raeni selama
berkuliah. Tentu saja ini akan menjadi nilai plus suatu berita. Sudah selayaknyalah
informasi yang disebarluaskan semakin membuka pikiran rakyatnya, bukan malah
membodohi. Saya juga yakin, kampus Unes,
almamater Raeni juga tidak hanya bertujuan membentuk lulusan-lulusan ber-IPK
tinggi tanpa memerhatikan proses yang baik dan moral anak didiknya. Keberhasilan
Raeni lainnya yang perlu dibagi adalah bagaimana ia mampu mengelola waktu
dengan baik selama studi. Ia berhasil lulus dengan cepat yakni 3 tahun 6 bulan
10 hari. Ini prestasi luar biasa, karena banyaknya mahasiswa di DO dengan
alasan telah melewati batas waktu maksimal ataupun IP yang bernasib satu koma
di luar sana, Raeni malah berhasil mendapatkan nilai hampir sempurna dengan
waktu minimal.
Menurut Indari Mastuti, pendiri
Sekolah Perempuan dan penulis puluhan judul buku inspiratif, sekolah yang ideal
ialah sekolah yang mampu memunculkan inspirasi, kreativitas,
dan interaksi positif yang mendorong seseorang bukan hanya memiliki nilai mata
pelajaran yang tinggi tapi juga kemampuan bersosialisasi, berempati, dan
bergerak menjadi seseorang di atas rata-rata. Seperti halnya sekolah yang ia
dirikan dengan tujuan menginspirasi ibu-ibu untuk produktif dan menularkan
inspirasi ke mana saja dengan tulisan, begitu juga peran penting media meurbah paradigm
pendidikan kita. Bagi Indari menulis itu bukan bakat, tapi keahlian yang
konsisten dilakukan. Begitu juga dengan Raeni, nilai yang tinggi tentu tak
mungkin ia dapatkan tanpa kerja keras, sosialisasi yang baik, konsistensi dan
komitmen tinggi serta kreativitas manajemen waktu. Satu hal yang perlu dicontoh
juga adalah semangatnya untuk terus belajar hingga menjadi sukses dan tetap berbakti
kepada kedua orangtuanya.
Oleh karena itu,
kasihan sekali Raeni jika IPK yang susah payah ia peroleh hanya digembar
gemborkan melalui angka (baca IPK) saja. Menjelaskan usaha-usaha yang ia
lakukan sudah semestinya dilakukan agar bisa menjadi penebar inspirasi bagi
mahasiswa, orang muda dan juga seluruh rakyat bangsa ini yang kondisi
ekonominya tak jauh berbeda dengannya. lalu tugas siapakah ini? (ds)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar