Minggu, 01 Juni 2014

Jangan Biarkan Anak Bermain

      Kalau anak bisa dibuat sibuk kenapa mereka harus santai? Mungkin beberapa orangtua memiliki opini sama dengan pertanyaan di atas. Hal tersebut menjadi alasan para orangtua memadati kegiatan sehari-hari anaknya. Tapi ada juga anak yang memang menyukai berbagai kegiatan yang siap dijalaninya mulai diawal minggu hingga akhir minggu tiba. Namun kegiatan ini lebih banyak memang sebagai pilihan anak karena ia lebih memperdalam hobinya seperti taekwondo, sepak bola, tari, dan robotik. Setidaknya inilah sebagian pilihan favorit mayoritas anak sekolah di berbagai sekolah baik negri maupun swasta.
     Beberapa bulan lalu saya mendapatkan kesempatan sebagai sukarelawan interviewee seleksi pertukaran pelajar SMA. Program yg dilakukan oleh lembaga asing ini memang rutin dilakukan setiap tahunnya. Kegiatan internasional tersebut mencari anak-anak yang lebih unggul dalam leadership, sosial dan kemandirian. Dari beberapa peserta yang saya wawancarai, bisa disimpulkan hanya seperempat dari mereka yang memiliki kriteria yang diinginkan. Mereka yang tidak memiliki kriteria-kriteria tersebut mengungkapkan, padatnya jadwal belajar membuat mereka tidak sempat mengembangkan diri melalui kegiatan sosial di sekolah maupun di luar, seperti aktif di OSIS, PMR, ROHIS atau remaja masjid. Jangankan megikuti berbagai organisasi remaja bahkan untuk hanya hang out bersama teman-teman saja hanya mereka lakukan diakhir pekan. Kecenderungan orangtua yang lebih memfokuskan kecerdasan akademis membuat anaknya berpindah dari satu les pelajaran ke les lainnya. Ini juga didukung dengan semakin tumbuh suburnya lembaga kursus dibandingkan fasilitas umum lainnya seperti halnya taman kota atau bermain.
    Bermain bagi anak SD, SMP, SMA maupun kuliahan tentunya mempunyai level yang berbeda. Media dan tempat bermainnya pastilah juga tak sama. Sudah menjadi kodrat ilahiah bagi anak untuk bermain. Utbah Romin, Lc, Dosen Aqidah STIU Dirasat Islamiyah Al-Hikmah, menjelaskan betapa pentingnya hak bermain bagi anak dalam islam. Usia 0-7 tahun adalah fase bermain, karena anak diutamakan untuk selalu merasa senang jiwanya. Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat tentang anak cerdas dan bodoh membuat beban anak sekarang ini menjadi berat.
     Beban berat mereka juga seberat tas punggung yang dibawanya ke sekolah. Saya yakin ini pemandangan yang tak asing dewasa ini. Atau mungkin memang ada diantara anak kita yang membawa beban buku pelajaran melebihi berat tubuhnya? Pertanyaan ini tidak perlu kita jawab. Orangtua yang bekerja memiliki jam kerja 7-8 jam sehari. Pekerjaan ini jelas adalah jam kantoran. Sadarkah kita anak-anak sekolah sekarang memiliki jam kerja yang menyamai jam kerja kita. Nah, kita sebagai orang dewasa tentunya pernah mengalami masa-masa indah saat anak-anak dulu. Bermain bersama teman di sungai, membuat mobil-mobilan, masak-masakan dan banyak aktivitas lainnya yang tentu membuat kita menikmati masa kanak-kanak.
             Pagi hari anak-anak kita berusaha bangun lebih awal agar tak terlambat datang ke sekolah. Pukul 05.00 atau sekitar 06.00 mereka sudah memulai aktivitasnya. Waktu kegiatan belajar di beberapa sekolah memang berbeda. Misalnya saja mayoritas sekolah negeri akan mulai tepat pukul tujuh pagi. Lain hal dengan sekolah swasta menetapkan peraturan berbeda mengenai jam masuk siswanya. Untuk siswa SD negeri misalnya mereka akan berada di sekolah 3-5 jam dengan kegiatan belajar full. Sedangkan siswa SD swasta menghabiskan kurang lebih 6-7 jam walaupun tidak ‘melulu’ berurusan dengan akademis.
    Kebersamaan mereka dengan guru dan teman-temannya di sekolah mungkin jauh lebih lama dengan orangtuanya di rumah. Fakta ini bisa didukung lagi dengan ditambahnya kegiatan ekstra kulikuler atau les lainnya. Jika ada lima atau enam hari sekolah setiap minggunya maka anak kita memiliki jadwal yang tersusun rapi jika  dibandingkan kita sebagai orang dewasa. Patulah rasanya kita mendengar keluh kesah mereka di rumah yang ‘capek’ dengan rutinitas. Jika demikian apakah wajar jika kita buat mereka bermain dengan segudang kegiatan sehari-hari?
    Kenapa tidak bermain, kenapa di rumah saja atau kenapa tidur terus sih kalau libur, pertanyaan yang sering orangtua lontarkan kepada anak mereka. Kalau kita mau merefleksi diri tentunya hanya kita sebagai orang dewasa yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Karena jawaban itu hanya bisa kita temukan dari komunikasi yang baik antara anak dan orangtua.
   Menurut Seto Mulyadi, Psi, dalam misi pendidikan kita juga terdapat unsur estetika, etika, iptek, nasionalisme, kesehatan dan olahraga. Menurutnya etika adalah poin yang seharusnya menjadi dasar dalam mendidik. Usia dini adalah masa emas bagi anak untuk menumbuhkan kepeduliannya pada lingkungan, berbagi, empati dan melatih agar tak pantang menyerah. Bukan hanya calistung yang menjadi sasaran utama orangtua agar anaknya dianggap pintar. Bukankah dengan kesukaan anak bermain berbagai aspek kecerdasan dan karakter tadi juga sangat mungkin ditumbuhkan. Belajar bukan selamanya dengan keseriusan. Mulai usia dini hingga dewasa pun kita tidak mampu terus terkungkung dengan keseriusan bukan?
    Jika waktu anak-anak kita padati dengan aktivitas selain bermain maka sudah sewajarnya kita membiarkan mereka menikmati masa-masa kecilnya yang tak mungkin terulang. Bagaimana caranya? Silahkan simak cara-cara berikut yang mungkin bisa kita jadikan salah satu alternatif. 
       Ini Pilihanku
Orang dewasa bukanlah pemilik kehidupan anak. Anak dilahirkan melalui rahim seorang ibu melalui kuasa sang pencipta. Semenjak ia memiliki hak terlahir di muka bumi ini maka apalagi yang harus kita abaikan. Sebelum menentukan berbagai kegiatan ekstra, orangtua bisa menawarkan kepada anak yang menjadi kesukaanya. Jika ia telah menetapkan pilihan maka ia akan belajar bertanggungjawab menjalaninya. Keinginan yang muncul dari dalam diri sendiri tentu akan memunculkan potensi luar biasa dibanding dengan dorongan ekternal.

Kita Sepakat
Walaupun anak memiliki selisih umur yang jauh dari kita, namun ia mampu berkomunikasi dengan baik termasuk dalam membuat kesepakatan. Ini bisa dimulai dari keaktifan orangtua. Kesepakatan berarti kedua belah pihak baik orangtua dan anak sama-sama setuju dengan ketentuan yang berlaku. Misal, anak akan melakukan satu kegiatan ekstra perharinya kecuali hari Sabtu dan Minggu disetujui oleh orangtua dan anak tentunya.
      
Bukan kebutuhan
        Dulu ‘sekolah’ hanya mulai dikenal anak usia TK atau SD saja. Semakin sadar pentingnya pendidikan semakin orangtua ingin menerapkan lebih dini pada anaknya. Usia 2 tahun pun sekarang sudah mulai disekolahkan. Tren sekolah mahal yang vokal membuat orangtua tak mau ketinggalan gengsi. Kita sebaiknya lebih selektif terhadap kebutuhan pendidikan anak. Ini bisa disesuaikan dengan usia dan kelebihan atau kekurangan yang dimiliki anak.

         Tidak membandingkan   
         Si A tuh aktif banget lho, kok kamu gak mau sih diminta untuk les itu. Sering kali sebagai orangtua kita tidak menyadari bahwasannya kita sedang membandingkan anak kita dengan anak tetangga misalnya. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Pribahasa ini juga menggambarkan bahwasannya setiap anak memiliki keahlian atau kelebihan masing-masing.

            Belajar bisa didapatkan dari siapa dan apapun. Belajar dimasa kecil tak akan membuat mereka menjadi kerdil. Belajar bukanlah hasil tapi akan nihil jika kita tak ambil andil. Jangan biarkan anak bermain jika kita tak ‘lakuin’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar