Kalau anak bisa dibuat sibuk
kenapa mereka harus santai? Mungkin beberapa orangtua memiliki opini sama
dengan pertanyaan di atas. Hal tersebut menjadi alasan para orangtua memadati
kegiatan sehari-hari anaknya. Tapi ada juga anak yang memang menyukai berbagai
kegiatan yang siap dijalaninya mulai diawal minggu hingga akhir minggu tiba.
Namun kegiatan ini lebih banyak memang sebagai pilihan anak karena ia lebih memperdalam
hobinya seperti taekwondo, sepak bola, tari, dan robotik. Setidaknya inilah
sebagian pilihan favorit mayoritas anak sekolah di berbagai sekolah baik negri
maupun swasta.
Beberapa bulan lalu saya mendapatkan
kesempatan sebagai sukarelawan interviewee
seleksi pertukaran pelajar SMA. Program yg dilakukan oleh lembaga asing ini
memang rutin dilakukan setiap tahunnya. Kegiatan internasional tersebut mencari
anak-anak yang lebih unggul dalam leadership,
sosial dan kemandirian. Dari beberapa peserta yang saya wawancarai, bisa
disimpulkan hanya seperempat dari mereka yang memiliki kriteria yang
diinginkan. Mereka yang tidak memiliki kriteria-kriteria tersebut mengungkapkan,
padatnya jadwal belajar membuat mereka tidak sempat mengembangkan diri melalui
kegiatan sosial di sekolah maupun di luar, seperti aktif di OSIS, PMR, ROHIS
atau remaja masjid. Jangankan megikuti berbagai organisasi remaja bahkan untuk
hanya hang out bersama teman-teman
saja hanya mereka lakukan diakhir pekan. Kecenderungan orangtua yang lebih memfokuskan
kecerdasan akademis membuat anaknya berpindah dari satu les pelajaran ke les
lainnya. Ini juga didukung dengan semakin tumbuh suburnya lembaga kursus
dibandingkan fasilitas umum lainnya seperti halnya taman kota atau bermain.
Bermain bagi anak SD, SMP, SMA maupun
kuliahan tentunya mempunyai level yang berbeda. Media dan tempat bermainnya
pastilah juga tak sama. Sudah menjadi kodrat ilahiah bagi anak untuk bermain.
Utbah Romin, Lc, Dosen Aqidah STIU Dirasat Islamiyah Al-Hikmah, menjelaskan
betapa pentingnya hak bermain bagi anak dalam islam. Usia 0-7 tahun adalah fase
bermain, karena anak diutamakan untuk selalu merasa senang jiwanya. Pergeseran
nilai-nilai dalam masyarakat tentang anak cerdas dan bodoh membuat beban anak
sekarang ini menjadi berat.
Beban berat mereka juga seberat tas punggung
yang dibawanya ke sekolah. Saya yakin ini pemandangan yang tak asing dewasa
ini. Atau mungkin memang ada diantara anak kita yang membawa beban buku
pelajaran melebihi berat tubuhnya? Pertanyaan ini tidak perlu kita jawab.
Orangtua yang bekerja memiliki jam kerja 7-8 jam sehari. Pekerjaan ini jelas
adalah jam kantoran. Sadarkah kita anak-anak sekolah sekarang memiliki jam
kerja yang menyamai jam kerja kita. Nah, kita sebagai orang dewasa tentunya
pernah mengalami masa-masa indah saat anak-anak dulu. Bermain bersama teman di
sungai, membuat mobil-mobilan, masak-masakan dan banyak aktivitas lainnya yang
tentu membuat kita menikmati masa kanak-kanak.
Pagi hari anak-anak kita berusaha bangun lebih
awal agar tak terlambat datang ke sekolah. Pukul 05.00 atau sekitar 06.00 mereka
sudah memulai aktivitasnya. Waktu kegiatan belajar di beberapa sekolah memang
berbeda. Misalnya saja mayoritas sekolah negeri akan mulai tepat pukul tujuh
pagi. Lain hal dengan sekolah swasta menetapkan peraturan berbeda mengenai jam
masuk siswanya. Untuk siswa SD negeri misalnya mereka akan berada di sekolah
3-5 jam dengan kegiatan belajar full.
Sedangkan siswa SD swasta menghabiskan kurang lebih 6-7 jam walaupun tidak
‘melulu’ berurusan dengan akademis.
Kebersamaan mereka dengan guru dan teman-temannya di
sekolah mungkin jauh lebih lama dengan orangtuanya di rumah. Fakta ini bisa
didukung lagi dengan ditambahnya kegiatan ekstra kulikuler atau les lainnya.
Jika ada lima atau enam hari sekolah setiap minggunya maka anak kita memiliki
jadwal yang tersusun rapi jika dibandingkan
kita sebagai orang dewasa. Patulah rasanya kita mendengar keluh kesah mereka di
rumah yang ‘capek’ dengan rutinitas. Jika demikian apakah wajar jika kita buat
mereka bermain dengan segudang kegiatan sehari-hari?
Kenapa tidak bermain, kenapa di rumah saja atau kenapa
tidur terus sih kalau libur, pertanyaan yang sering orangtua lontarkan kepada
anak mereka. Kalau kita mau merefleksi diri tentunya hanya kita sebagai orang
dewasa yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Karena jawaban itu hanya bisa
kita temukan dari komunikasi yang baik antara anak dan orangtua.
Menurut Seto Mulyadi, Psi, dalam misi pendidikan kita
juga terdapat unsur estetika, etika, iptek, nasionalisme, kesehatan dan
olahraga. Menurutnya etika adalah poin yang seharusnya menjadi dasar dalam
mendidik. Usia dini adalah masa emas bagi anak untuk menumbuhkan kepeduliannya
pada lingkungan, berbagi, empati dan melatih agar tak pantang menyerah. Bukan
hanya calistung yang menjadi sasaran utama orangtua agar anaknya dianggap
pintar. Bukankah dengan kesukaan anak bermain berbagai aspek kecerdasan dan
karakter tadi juga sangat mungkin ditumbuhkan. Belajar bukan selamanya dengan
keseriusan. Mulai usia dini hingga dewasa pun kita tidak mampu terus terkungkung
dengan keseriusan bukan?
Jika waktu
anak-anak kita padati dengan aktivitas selain bermain maka sudah sewajarnya
kita membiarkan mereka menikmati masa-masa kecilnya yang tak mungkin terulang. Bagaimana
caranya? Silahkan simak cara-cara berikut yang mungkin bisa kita jadikan salah
satu alternatif.
Ini Pilihanku
Orang
dewasa bukanlah pemilik kehidupan anak. Anak dilahirkan melalui rahim seorang
ibu melalui kuasa sang pencipta. Semenjak ia memiliki hak terlahir di muka bumi
ini maka apalagi yang harus kita abaikan. Sebelum menentukan berbagai kegiatan
ekstra, orangtua bisa menawarkan kepada anak yang menjadi kesukaanya. Jika ia
telah menetapkan pilihan maka ia akan belajar bertanggungjawab menjalaninya.
Keinginan yang muncul dari dalam diri sendiri tentu akan memunculkan potensi
luar biasa dibanding dengan dorongan ekternal.
Kita
Sepakat
Walaupun
anak memiliki selisih umur yang jauh dari kita, namun ia mampu berkomunikasi
dengan baik termasuk dalam membuat kesepakatan. Ini bisa dimulai dari keaktifan
orangtua. Kesepakatan berarti kedua belah pihak baik orangtua dan anak
sama-sama setuju dengan ketentuan yang berlaku. Misal, anak akan melakukan satu
kegiatan ekstra perharinya kecuali hari Sabtu dan Minggu disetujui oleh
orangtua dan anak tentunya.
Bukan
kebutuhan
Dulu ‘sekolah’ hanya mulai dikenal anak usia TK atau SD
saja. Semakin sadar pentingnya pendidikan semakin orangtua ingin menerapkan
lebih dini pada anaknya. Usia 2 tahun pun sekarang sudah mulai disekolahkan.
Tren sekolah mahal yang vokal membuat orangtua tak mau ketinggalan gengsi. Kita
sebaiknya lebih selektif terhadap kebutuhan pendidikan anak. Ini bisa
disesuaikan dengan usia dan kelebihan atau kekurangan yang dimiliki anak.
Tidak membandingkan
Si A tuh aktif banget lho, kok kamu gak mau sih diminta
untuk les itu. Sering kali sebagai orangtua kita tidak menyadari bahwasannya
kita sedang membandingkan anak kita dengan anak tetangga misalnya. Lain ladang
lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Pribahasa ini juga menggambarkan
bahwasannya setiap anak memiliki keahlian atau kelebihan masing-masing.
Belajar
bisa didapatkan dari siapa dan apapun. Belajar dimasa kecil tak akan membuat
mereka menjadi kerdil. Belajar bukanlah hasil tapi akan nihil jika kita tak
ambil andil. Jangan biarkan anak bermain jika kita tak ‘lakuin’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar